session ketiga nanti saya pindah kelas, dari PAX 617 ke PAX 563. dari peace processes: multi-track approaches bersama catherine barnes ke philosophy & praxis of reconciliation bersama hizkia assefa. dan sudah disetujui oleh valerie [untung belum terlambat, begitu dia bilang. karena saya mengajukannya baru kemaren sore].
saya belum tahu isi keduanya. tapi, bila ditimbang-timbang, saya ingin yang lebih dari pada hal-hal praktis. saya ingin tahu bagaimana kesulitan dan peluang rekonsiliasi dipikirkan. dan menurut sam ekiror sahabat saya, dia sarankan ambil hizkia saja. [sam selalu begitu, memilih berdasarkan instrukturnya he..he.. so do i!]
akibat pilihan ini, mungkin untuk session keempat nanti saya juga akan pindah sebab di session keempat itu saya merencanakan untuk ambil kelasnya hizkia tapi mosok ambil satu instruktur untuk dua kelas?
saya -ini usulan pak paulus hartono yang melihat saya sukanya motret- agar saya ambil kelasnya lisa schirch saja: strategic media & arts-based peacebuilding. tapi, lisa yang istrinya bill goldberg ini, orangnya kok nggak menarik ya?
orangnya nggak artistik, dalam arti: kamera saya enggan motret dia gitu!
ha..ha..
25 May 2007
rahayu..!
kami menutup session kedua di kelas kami dengan menampilkan ritus untuk mengeratkan komunitas. yang dipilih adalah istilah dalam bahasa jawa. saya tidak mengira bahwa jawa bakalan dipilih untuk acara ini.
instruktur menanyakan ke saya, apa bahasa jawa untuk mengatakan damai, sejahtera dan keadaan baik bagi semua orang?
saya pilih beberapa kata: sae, prayoga, yogya, dan rahayu...
dia bingung.
saya jelaskan bahwa kami tidak biasa mengungkapkan hal itu dengan satu kata. lalu, tak pikir-pikir lagi [sambil disusu-susu dia] saya pilih yang terakhir tadi: rahayu. kata yang bisa mewakili sapaan saling berbagi kedamaian, kesejahteraan, keselarasan...
dan supaya agak dramatis, saya katakan bahwa dulunya orang jawa menyampaikan ucapan itu kepada sesamanya dengan disertai gerak tubuh anjali, yakni mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada. saya tahu bahwa tindakan seperti ini masih dijalankan oleh saudara-saudara budist di jawa.
[gesture anjali ini juga berlaku untuk sembahyang, ditambah ada bunga di ujung tangan yang terkatup itu. bunga ini kelak akan disebut puspanjala. sekarang nama suatu jalan di kawasan kotagede]
jadilah kami semua di kelas itu berlatih menggunakan kata rahayu disertai anjali.
kami berdiri melingkar dan berdua-dua kami saling mengucapkan dengan irama amat pelahan: rahayu dengan anjali. lalu memutar arah badan, menyampaikan hal yang sama pada partner sebelahnya. begitu berulang-ulang dalam irama pelan...
mereka senang.
saya pun senang karena rahayu jawa bisa ke mana-mana. yang palestina, yang afghanistan, yang azerbaijan, yang mesir... mereka sekarang pulang dengan membawa rahayu.
rahayu!
instruktur menanyakan ke saya, apa bahasa jawa untuk mengatakan damai, sejahtera dan keadaan baik bagi semua orang?
saya pilih beberapa kata: sae, prayoga, yogya, dan rahayu...
dia bingung.
saya jelaskan bahwa kami tidak biasa mengungkapkan hal itu dengan satu kata. lalu, tak pikir-pikir lagi [sambil disusu-susu dia] saya pilih yang terakhir tadi: rahayu. kata yang bisa mewakili sapaan saling berbagi kedamaian, kesejahteraan, keselarasan...
dan supaya agak dramatis, saya katakan bahwa dulunya orang jawa menyampaikan ucapan itu kepada sesamanya dengan disertai gerak tubuh anjali, yakni mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada. saya tahu bahwa tindakan seperti ini masih dijalankan oleh saudara-saudara budist di jawa.
[gesture anjali ini juga berlaku untuk sembahyang, ditambah ada bunga di ujung tangan yang terkatup itu. bunga ini kelak akan disebut puspanjala. sekarang nama suatu jalan di kawasan kotagede]
jadilah kami semua di kelas itu berlatih menggunakan kata rahayu disertai anjali.
kami berdiri melingkar dan berdua-dua kami saling mengucapkan dengan irama amat pelahan: rahayu dengan anjali. lalu memutar arah badan, menyampaikan hal yang sama pada partner sebelahnya. begitu berulang-ulang dalam irama pelan...
mereka senang.
saya pun senang karena rahayu jawa bisa ke mana-mana. yang palestina, yang afghanistan, yang azerbaijan, yang mesir... mereka sekarang pulang dengan membawa rahayu.
rahayu!
23 May 2007
packing oleh-oleh
sanjay sudah mengepak oleh-oleh dan barang-barangnya.
jumat ini dia harus pergi, ke kalifornia dulu, baru 2-3 hari kemudian dia kembali ke india. demikian juga rekan-rekan yang dari eropa, karibia dan afrika. umumnya mereka hanya dikasih jatah untuk ikut 2 session saja oleh organisasi pengutusnya, tapi tahun depannya lagi boleh ikut lagi 2 session lagi.
tiap sore, dua hari sekali, kami diantar ke grocery. untuk belanja kebutuhan sehari-hari.
saya perhatikan pada hari-hari ini belanjaan mereka sudah berubah tema. kalo hari-hari pertama dulu yang dibeli adalah minyak, telor, daging, susu dan cemilan. sekarang yang dibeli adalah oleh-oleh. ada baju, sepatu, kamera digital, hape... malah pak yo teman sekamarku mau beliin laptop untuk anaknya biar anaknya segera menyelesaikan skripsinya.
saya telepon istri dan anak-anak kemaren sore: "mau dioleh-olehi apa?"
"nggak usahlah pak. pokoknya bapak pulang saja sambil bawain aku sweater yang pake capuchon". itu abra [dasar kemayu].
iwang, kakaknya, juga: "gak usah pak, tapi bawain aku komik naruto yang bahasa inggris, jilid 14 [dia sudah punya yang edisi jepang dari oomnya].
istriku sendiri: "rasah mas, pokoke kowe mulih slamet wae wis seneng".
duh,
beda banget dengan orang-orang lain?!
orang lain belum ditanya aja udah omong: "oleh-olehnya yaa..."
he..he..
pagi ini aku merenungi, sambil lihat beberapa teman yang pada mengepaki barang dan oleh-olehnya: apa sih oleh-oleh?
jumat ini dia harus pergi, ke kalifornia dulu, baru 2-3 hari kemudian dia kembali ke india. demikian juga rekan-rekan yang dari eropa, karibia dan afrika. umumnya mereka hanya dikasih jatah untuk ikut 2 session saja oleh organisasi pengutusnya, tapi tahun depannya lagi boleh ikut lagi 2 session lagi.
tiap sore, dua hari sekali, kami diantar ke grocery. untuk belanja kebutuhan sehari-hari.
saya perhatikan pada hari-hari ini belanjaan mereka sudah berubah tema. kalo hari-hari pertama dulu yang dibeli adalah minyak, telor, daging, susu dan cemilan. sekarang yang dibeli adalah oleh-oleh. ada baju, sepatu, kamera digital, hape... malah pak yo teman sekamarku mau beliin laptop untuk anaknya biar anaknya segera menyelesaikan skripsinya.
saya telepon istri dan anak-anak kemaren sore: "mau dioleh-olehi apa?"
"nggak usahlah pak. pokoknya bapak pulang saja sambil bawain aku sweater yang pake capuchon". itu abra [dasar kemayu].
iwang, kakaknya, juga: "gak usah pak, tapi bawain aku komik naruto yang bahasa inggris, jilid 14 [dia sudah punya yang edisi jepang dari oomnya].
istriku sendiri: "rasah mas, pokoke kowe mulih slamet wae wis seneng".
duh,
beda banget dengan orang-orang lain?!
orang lain belum ditanya aja udah omong: "oleh-olehnya yaa..."
he..he..
pagi ini aku merenungi, sambil lihat beberapa teman yang pada mengepaki barang dan oleh-olehnya: apa sih oleh-oleh?
22 May 2007
bahasa [mujizat kantong ajaib]
saya tahu bahwa saya ada masalah dengan bahasa. tidak hanya dengan bahasa inggris, tapi dalam tiap bahasa tidak mudah bagi saya untuk menangkap dan bicara lancar. baik dalam bahasa jawa maupun bahasa indonesia, saya berkali-kali memang tidak lancar dalam mengutarakannya.
tulisan maupun lisan.
hari ini tadi saya harus presentasi: mengenai apa yang kami kerjakan dalam komunitas dan apa peran kami di situ. pointnya ada pada pentingnya komunikasi dalam menjalin keeratan antar anggota komunitas.
assignment yang mendadak, memang.
tiap orang bercerita perihal ketimpangan sosial, ekonomi, politik dan bagaimana mereka menempatkan diri di situ. yang perempuan menonjolkan ketidaksetaraan yang mereka alami. yang dari palestina juga menyetorkan pengalaman ketidaksetaraan hak-hak politis mereka di negara itu.
lha saya?
saya yang gak lancar omong ini mau omong apa? untunglah saya punya "kantong ajaib" seperti milik doraemon. kantong celana saya yang kanan itu selalu berisi flashdisk yang berisi macem-macem file, yang kali ini tak bawa ukurannya kecil tapi isine sak giga. lebih besar dari yang biasa saya bawa. lha saking kecilnya, sehingga sok-sok keslempit sama kacu yang juga lokasinya selalu di situ.
saya minta ijin untuk menggunakan viewer yang ada di kelas. juga komputernya sekalian.
tak bukain internet, tak panggil peta indonesia, yogyakarta dan bantul pake google image.
mak jreeng...
terkesiaplah semua-mua!
[saya sendiri juga terkesiap je liat internet cepete kayak gini. edun!]
saya membuka dengan mengakui bahwa bahasa inggris memang bahasa internasional, sehingga kita di kelas ini yang berisi orang dari berbagai belahan dunia ini bisa saling sharing mengenai pengalaman masing-masing. tapi, saya adalah arsitek, yang terbiasa tidak menggunakan bahasa verbal ning bahasa visual.
so, perkenankan saya bicara melalui gambar...
trus, makjreengnya dimulai lagi... semangkin menghentak...
tak bukakne files saya tentang penanganan bencana gempa di berbah kemaren dan juga foto rumah saya sendiri [halah!].
dari sana saya terbantu untuk omong mengenai negosiasi, kompromi, perawatan tradisi, pentingnya mitos, pentingnya pengetahuan dan tradisi lisan, pentingnya material lokal dan ketrampilan lokal...
pokoknya, hal-hal atau pokok-pokok yang menjadi tema diskusi hari ini. poko-pokok yang memang penting dalam memulai pembanguan suatu komunitas, yang oleh rekan lain disampaikan dengan verbal.
[aku ya verbal ning ditambahi gambar sehingga omonganku gak banyak pun sudah dimaafkan dengan foto-foto yang meyakinkan].
komentar instrukturnya: "komunikasi yang dijalankan dengan hati, dengan pengalaman atau penghayatan, itu selain meyakinkan juga memberi energi. menularkan energi kepada rekan bicaranya, selain juga membikin pembicaranya jadi penuh energi.."
[halah, memang bener sih. tapi itu juga karena saya habis makan siang! he..he.. fotonya nanti aja, nyusul. karena saking semangate sampek lupa harus memotret diri sendiri juga...]
tulisan maupun lisan.
hari ini tadi saya harus presentasi: mengenai apa yang kami kerjakan dalam komunitas dan apa peran kami di situ. pointnya ada pada pentingnya komunikasi dalam menjalin keeratan antar anggota komunitas.
assignment yang mendadak, memang.
tiap orang bercerita perihal ketimpangan sosial, ekonomi, politik dan bagaimana mereka menempatkan diri di situ. yang perempuan menonjolkan ketidaksetaraan yang mereka alami. yang dari palestina juga menyetorkan pengalaman ketidaksetaraan hak-hak politis mereka di negara itu.
lha saya?
saya yang gak lancar omong ini mau omong apa? untunglah saya punya "kantong ajaib" seperti milik doraemon. kantong celana saya yang kanan itu selalu berisi flashdisk yang berisi macem-macem file, yang kali ini tak bawa ukurannya kecil tapi isine sak giga. lebih besar dari yang biasa saya bawa. lha saking kecilnya, sehingga sok-sok keslempit sama kacu yang juga lokasinya selalu di situ.
saya minta ijin untuk menggunakan viewer yang ada di kelas. juga komputernya sekalian.
tak bukain internet, tak panggil peta indonesia, yogyakarta dan bantul pake google image.
mak jreeng...
terkesiaplah semua-mua!
[saya sendiri juga terkesiap je liat internet cepete kayak gini. edun!]
saya membuka dengan mengakui bahwa bahasa inggris memang bahasa internasional, sehingga kita di kelas ini yang berisi orang dari berbagai belahan dunia ini bisa saling sharing mengenai pengalaman masing-masing. tapi, saya adalah arsitek, yang terbiasa tidak menggunakan bahasa verbal ning bahasa visual.
so, perkenankan saya bicara melalui gambar...
trus, makjreengnya dimulai lagi... semangkin menghentak...
tak bukakne files saya tentang penanganan bencana gempa di berbah kemaren dan juga foto rumah saya sendiri [halah!].
dari sana saya terbantu untuk omong mengenai negosiasi, kompromi, perawatan tradisi, pentingnya mitos, pentingnya pengetahuan dan tradisi lisan, pentingnya material lokal dan ketrampilan lokal...
pokoknya, hal-hal atau pokok-pokok yang menjadi tema diskusi hari ini. poko-pokok yang memang penting dalam memulai pembanguan suatu komunitas, yang oleh rekan lain disampaikan dengan verbal.
[aku ya verbal ning ditambahi gambar sehingga omonganku gak banyak pun sudah dimaafkan dengan foto-foto yang meyakinkan].
komentar instrukturnya: "komunikasi yang dijalankan dengan hati, dengan pengalaman atau penghayatan, itu selain meyakinkan juga memberi energi. menularkan energi kepada rekan bicaranya, selain juga membikin pembicaranya jadi penuh energi.."
[halah, memang bener sih. tapi itu juga karena saya habis makan siang! he..he.. fotonya nanti aja, nyusul. karena saking semangate sampek lupa harus memotret diri sendiri juga...]
21 May 2007
tony brown
luncheon siang ini menampilkan seorang penyanyi baritone: anthony brown.
saya sudah melihat penampilannya hari minggu lalu di gereja. seorang penyanyi afro-amerika yang dalam membawakan lagu-lagunya selalu dengan semangat. semangat orang tertindas, sebagaimana semangat asli lagu-lagu yang dibawakannya.
ini bukan pertunjukan pavarotti, memang, tapi begitulah... lagu-lagu tadi dibawakan seolah dibawakan oleh seorang pavarotti.
seperti dulu para budak memainkan alat-alat musik tuannya secara fals sehingga justru melahirkan nada-nada blues. nada-nada yang kalau ditulis pake not balok harus diimbuhi tanda moll sampai 4 atau 5, tidak sekadar nada yang turun dan naik setengahnya.
tony brown membawakan dengan suara dibikin-bikin seserius suara pavarotti. digetar-getarkan seperti orang melayu menyanyikan lagu-lagu paduan suara gereja. dari perspektif itu suara tony jelek. tidak hanya itu: nista! karena tidak berhasil memenuhi standard suara yang sebagus pavarotti atau kiri te kanawa yang "suaranya seolah tanpa serat" itu.
tapi, sekali lagi, ini bukan pertunjukan sejenis pavarotti. ini pertunjukan dengan obyek yang berbeda: bukan pertunjukan tentang keindahan suara yang memenuhi pakem suara klasik barat. ini pertunjukan mengenai bagaimana seni [suara] ambil bagian dalam proses rekonsiliasi.
lagu-lagu yang dibawakan tony adalah lagu-lagu yang pada jamannya dulu telah membangun semangat, memulihkan harga diri, membangun perasaan senasib, menebarkan harapan, mengungkapkan keyakinan akan pemeliharaan tuhan...
lagu-lagu ini telah menjadi sarana bagi kepentingan kemanusiaan. fungsional dalam membangun kembali jaringan sosial yang rusak atau kendor. jadi, ini bukan pertunjukan seni demi seni itu sendiri.
seni telah diperalat? dalam arti tertentu ya, tapi dalam arti lain seni ini dikembalikan pada habitatnya mula-mula: komunitas. seni suara mula-mula tidak ada demi seni suara, tapi demi komunikasi antar anggota komunitas. untuk menyampaikan hal-hal subtil yang tidak bisa disampaikan dengan sarana komunikasi langsung.
tidak heran, bila pada kebaktian hari minggu kemaren, ada warga jemaat yang setelah mendengar suara tony brown langsung spontan menyeru: halleluya! amen!
aku setuju.
saat itu memang harus dinyatakan dua kata itu: halleluya dan amin.
[tapi aku tidak melakukannya. aku cuma mengusap air mata di balik kacamataku. ini kali pertama aku menangis di gereja di usa]
20 May 2007
ABCD
buku yang digunakan dalam kelas building communities di session kedua ini mengajak agar kita mendekati proses pembangunan masyarakat atau komunitas itu dari identifikasi aset-aset mereka.
buku ini mengajak untuk meninggalkan pendekatan yang bertolak dari identifikasi kebutuhan [needs] sebagaimana lazimnya para LSM melakukan selama ini. pengarangnya -biasalah, amerika- mengajak agar kita menghafal "rule of thumb"nya dengan ABCD: asset based community development.
pendekatan yang dikritiknya, yang bertolak dari needs itu, berpotensi menciptakan ketergantungan atau konsumerisme atas bantuan dari luar komunitas. lebih dalam lagi, pendekatan ini menciptakan rasa rendah diri, perasaan untuk harus selalu kekurangan, agar mengalirlah bantuan.
pendekatan yang ditawarkan dimulai dari indentifikasi skills yang bisa dikerjakan oleh tiap individu dan kemampuan apa yang ignin dikuasainya. langkah awal ini diperlukan untuk menghubungkan atau mempertemukan antara potensi dan kebutuhan yang telah ada dalam komunitas. tugas kita adalah membantu atau menemani proses identifikasi oleh anggota komunitas itu sendiri sehingga mereka menyadari adanya saling-ketergantungan antar mereka.
jadi, rupanya ini yang penting: kesadaran bahwa tiap anggota komunitas selalu punya potensi yang bisa dikembangkan. dan kedua, bahwa skill harus dicarikan hubungan dengan institusi atau asosiasi yang bisa menopangnya. baik di dalam mau pun di luar komunitas itu sendiri.
buku ini mengajak untuk meninggalkan pendekatan yang bertolak dari identifikasi kebutuhan [needs] sebagaimana lazimnya para LSM melakukan selama ini. pengarangnya -biasalah, amerika- mengajak agar kita menghafal "rule of thumb"nya dengan ABCD: asset based community development.
pendekatan yang dikritiknya, yang bertolak dari needs itu, berpotensi menciptakan ketergantungan atau konsumerisme atas bantuan dari luar komunitas. lebih dalam lagi, pendekatan ini menciptakan rasa rendah diri, perasaan untuk harus selalu kekurangan, agar mengalirlah bantuan.
pendekatan yang ditawarkan dimulai dari indentifikasi skills yang bisa dikerjakan oleh tiap individu dan kemampuan apa yang ignin dikuasainya. langkah awal ini diperlukan untuk menghubungkan atau mempertemukan antara potensi dan kebutuhan yang telah ada dalam komunitas. tugas kita adalah membantu atau menemani proses identifikasi oleh anggota komunitas itu sendiri sehingga mereka menyadari adanya saling-ketergantungan antar mereka.
jadi, rupanya ini yang penting: kesadaran bahwa tiap anggota komunitas selalu punya potensi yang bisa dikembangkan. dan kedua, bahwa skill harus dicarikan hubungan dengan institusi atau asosiasi yang bisa menopangnya. baik di dalam mau pun di luar komunitas itu sendiri.
masih amish

mereka beribadah dari rumah ke rumah. itu sebabnya maka rumah-rumah mereka selalu punya ruangan besar yang bisa dipakai untuk ngumpul seluruh anggota jemaat.
bagi seorang arsitek perbedaan sikap mereka dari orang kristen seumumnya ini menarik: mengapa mereka tetap memilih kehidupan religiusnya dijalankan secara privat atau rumahan, dan tidak publik?
kumpulan orang percaya setelah peristiwa pentakosta, sebutlah sebagai koinonia christianon, memang menyebar. ada yang ke barat, menyeberang dan atau menyusuri laut tengah sampai ke ibu kota kekaisaran roma. ada pula yang ke utara, dan timur: ke syria, jordan dan sekitarnya. ada pula yang ke selatan hingga ke kawasan arabia.
tapi, mau ke mana pun persebaran mereka ini, ada tahapan dari yang semula bersekutu di dalam rumah, lalu lama kelamaan mereka membangun sebuah bangunan publik di luar rumah yang bisa dihadiri oleh siapa saja. saya tidak tahu kapan dan mengapa peralihan ini terjadi. apakah ketika sekte yahudi yang oleh dominic crossan disebut sebagai sekte kristen [di samping sekte essen, farisi, saduki dll.] ini disahkan keberadaannya dalam kekaisaran roma oleh kaisar konstantin?
fakta arkeologis yang bisa digali memerlihatkan bahwa pada tahun-tahun awal kehidupan kekristenan berlangsung dari rumah ke rumah. lukas dalam kisah para rasul maupun surat-surat paulus memerlihatkan hal itu.
bahkan, ketika gedung bagi persekutuan mereka itu ada, maka yang dipilih adalah basilika, suatu building type yang sudah ada sebelumnya. sehingga hal itu membuktikan bahwa dulunya mereka memang tidak bersekutu di situ, yang lalu oleh karena suatu kebutuhan yang mendesak mereka ambil apa saja yang cocok dengan corak persekutuan mereka.
orang amish adalah cabang yang kesekian dari golongan anabaptis. golongan anabaptis ini muncul pada abad 16-17 an di eropa. jadi, ketika orang kristen dan arsitekturnya sudah dalam kematangannya [juga kemerosotannya]. orang amish muncul pada abad berikutnya di amerika. artinya, gereja dan arsitektur sejamannya sudah meninggalkan corak persekutuan rumahan ke persekutuan yang lebih bersifat lembaga publik.
pertanyaannya, mengapa justru pada masa itu mereka ingin kembali ke jaman yang lebih kuna? dorongan sosial, politik, teologis, ekonomi apakah yang memaksa mereka kembali ke format lama?
saya katakan "kembali" karena pasti mereka sebenarnya sudah mengenal gereja dalam format lembaga publik. jadi, ketika mereka tidak beribadah dalam gedung gereja publik, mereka berada dalam posisi memilih, bukan menerima begitu saja warisan dari tradisi sebelumnya.
sehingga, pertanyaan yang perlu diajukan adalah: mengapa mereka memilih memahami koinonia christianon dalam format rumahan, padahal "seluruh dunia" memilih yang satunya?
begitukah pandangan dunia mereka bahwa dunia di luar kelompoknya adalah dunia jahat yang tidak perlu dilihat, apalagi diikuti?
old order mennonite
tadi sambil menunggu pak yo dan pak paulus belanja di walmart, saya diskusi dengan pak yoder dan ibu mengenai sejarah orang amish di amerika.
rupanya, orang amish yang saya lihat kemaren itu bukanlah orang amish yang sesungguhnya, tapi adalah orang-orang mennonite orde lama [begitu pak yoder menyebut mereka]: orang yang meniru gaya hidup orang amish tapi sudah [dan banyak] menerima teknologi baru dari kehidupan sekuler amerika di luar lingkungannya.
untuk mengolah tanah, mereka bisa menerima penggunaan traktor. tapi untuk mengangkut manusia mereka hanya membolehkan digunakannya dokar. itu sebabnya kemaren mereka terlihat berombongan berdokar ria, sementara setelah mereka pulang mereka menggarap ladang dengan alat-alat dan kendaraan berbau bengsin [eh, bensin! maklum, lagi ngantuk kekenyangen]
orang amish hidup lebih ketat lagi dalam membedakan diri dari orang amerika selebihnya. walau pun hal itu tidak berarti terputus sama sekali darinya. contohnya, mereka bisa menerima alat pager untuk menerima pemberitahuan mengenai kebakaran atau mengenai ternak mereka. demikian pula, mereka bisa menerima adanya telepon umum di pinggir desa mereka, tempat mereka -kadang dengan mencuri-curi- untuk bisa berkontak dengan orang di luar lingkungannya.
saya ingin melihat lebih jauh lagi mengenai mereka, nanti di pensylvania bersama rombongan MCC. saya ingin tahu bagaimana isolasi kultural atas nama ideologi melakukan negosiasi dengan kemajuan teknologi komunikasi, informasi dan transportasi.
[untuk yang terakhir ini ada website yang nakal, yang menggambarkan sarana transportasi modern gaya amish]
rupanya, orang amish yang saya lihat kemaren itu bukanlah orang amish yang sesungguhnya, tapi adalah orang-orang mennonite orde lama [begitu pak yoder menyebut mereka]: orang yang meniru gaya hidup orang amish tapi sudah [dan banyak] menerima teknologi baru dari kehidupan sekuler amerika di luar lingkungannya.
untuk mengolah tanah, mereka bisa menerima penggunaan traktor. tapi untuk mengangkut manusia mereka hanya membolehkan digunakannya dokar. itu sebabnya kemaren mereka terlihat berombongan berdokar ria, sementara setelah mereka pulang mereka menggarap ladang dengan alat-alat dan kendaraan berbau bengsin [eh, bensin! maklum, lagi ngantuk kekenyangen]
orang amish hidup lebih ketat lagi dalam membedakan diri dari orang amerika selebihnya. walau pun hal itu tidak berarti terputus sama sekali darinya. contohnya, mereka bisa menerima alat pager untuk menerima pemberitahuan mengenai kebakaran atau mengenai ternak mereka. demikian pula, mereka bisa menerima adanya telepon umum di pinggir desa mereka, tempat mereka -kadang dengan mencuri-curi- untuk bisa berkontak dengan orang di luar lingkungannya.
saya ingin melihat lebih jauh lagi mengenai mereka, nanti di pensylvania bersama rombongan MCC. saya ingin tahu bagaimana isolasi kultural atas nama ideologi melakukan negosiasi dengan kemajuan teknologi komunikasi, informasi dan transportasi.
[untuk yang terakhir ini ada website yang nakal, yang menggambarkan sarana transportasi modern gaya amish]
asia yang memanjakan amerika
tadi sepulang dari gereja, kami bertiga -dengan pak yoder juga- berjalan kaki ke rumah beliau.
pak paulus memang punya kepentingan untuk ke sana, sedangkan saya dan pak yo hanya ikut saja. ada banyak hal yang dibicarakan pak paulus dengan pak yoder, sedangkan saya menyibukkan bu yoder dengan pertanyaan sekitar rumah di daerah tersebut.
karena kami ke sana sudah saatnya makan siang, maka kami pun diajak bermobil menuju rumah makan asia di shopping center di mana terdapat juga di situ walmart.
makan di sini ini dijalankan seperti prasmanan di jawa: pengunjung boleh ambil apa pun yang dimau.
cara makan seperti ini bikin orang rakus, tamak dan lepas kendali. tidak heran bila hampir semua yang makan di sini orang-orangnya lemu-lemu. dan amerika semua, tidak ada orang asianya, hanya kami bertiga.
oh ya, makan memang seharusnya dengan kendali.
orang asia kendalinya adalah kemiskinan, sedangkan amerika -mustinya- adalah pandangan hidup atau ideologi yang menghargai sikap hemat dan tidak boros.
sorry, untuk tulisan ini tidak ada gambar mereka, orang-orang amerika yang dimanjakan oleh rumah makan asia, kecuali gambar saya sendiri yang memang gendut karena bawan.
[bawaan? nyang beneeer..... he..he..]
pak paulus memang punya kepentingan untuk ke sana, sedangkan saya dan pak yo hanya ikut saja. ada banyak hal yang dibicarakan pak paulus dengan pak yoder, sedangkan saya menyibukkan bu yoder dengan pertanyaan sekitar rumah di daerah tersebut.
karena kami ke sana sudah saatnya makan siang, maka kami pun diajak bermobil menuju rumah makan asia di shopping center di mana terdapat juga di situ walmart.
makan di sini ini dijalankan seperti prasmanan di jawa: pengunjung boleh ambil apa pun yang dimau.
cara makan seperti ini bikin orang rakus, tamak dan lepas kendali. tidak heran bila hampir semua yang makan di sini orang-orangnya lemu-lemu. dan amerika semua, tidak ada orang asianya, hanya kami bertiga.
oh ya, makan memang seharusnya dengan kendali.
orang asia kendalinya adalah kemiskinan, sedangkan amerika -mustinya- adalah pandangan hidup atau ideologi yang menghargai sikap hemat dan tidak boros.
sorry, untuk tulisan ini tidak ada gambar mereka, orang-orang amerika yang dimanjakan oleh rumah makan asia, kecuali gambar saya sendiri yang memang gendut karena bawan.
[bawaan? nyang beneeer..... he..he..]
dayton farmers market
di bayangan saya, market atau "pasar" tadi bakalan rame dengan orang yang tawar menawar komoditas petani. lha jebul ini seperti masuk ke alfa di yogya. semacam toko serba ada.
memang, yang jual adalah petani lokal, dan umumnya kualitas barangnya bagus dan tanpa pengawet atau bahan kimia buatan. sayur dan hasil pertaniannya diklaim "organik".
itukah sebabnya sehingga banyak orang amish berombong-rombong berbelanja di sini? bukan hanya belanja, tapi sebenarnya kebanyakan penjualnya adalah orang-orang amish itu: gadis-gadis mengenakan semacam mangkuk putih di puncak kepalanya, dengan busana yang sangat bersahaja. sedangkan ibu-ibunya memakai semacam topi untuk tudung kepala.

kebetulan saya melihat satu dokar mereka datang ke pasar itu. isinya satu keluarga. sayang saya tidak punya foto lebih jelas dari mereka, tidak tega memotret mereka ketika mereka lewat di depan saya.
foto di atas saya ambil dari kejauhan.
lumayan untuk dokumentasi [tolong saya dikasih tahu bila ini melanggar adat mereka ya...]
session longgar
session kedua ini saya masuk kelas building communities: social, economic and spiritual developent dengan prof. david anderson hooker sebagai instructornya.
ini professor hitam tinggi besar yang kaya dengan pengalaman lapangan. nampak dari cara dia berkomunikasi: langsung meminta pada implementasi dan lebih menaruh perhatian pada 'how to' serta 'apa yang kamu maksud dengan...'
bila dibandingkan dengan session pertama yang saya ikuti, session ini berjalan agak longgar. tidak ketat jadwal. tidak ada teori atau deskripsi yang mendahului aktivitas kami [peserta training].
tapi, justru di situlah masalahnya [buat saya! he..he..] karena metoda pengelolaan kelas ini mengandalkan kita sudah membaca buku-buku yang dimintanya.
dan ada 2 buku wajib yang harus dibeli. satu berjudul "Building Communities from the Inside Out", sedangkan satunya lagi berjudul "Training for Transformation: A Handbook for Community Workers"
buku terakhir ini langsung diminta beli 3 jilid.
halah..!
buku pertama dapat saya beli online, dengan harga lebih miring dari pada bila beli di bookstore EMU [karena statusnya yang used], sedang yang kedua terpaksa harus beli gres di bookstore itu: $ 34!
wuadhuh...
sebenernya, di session pertama kemaren saya juga 'disiksa' perasaan oleh karena juga harus beli beberapa buku seharga di atas 20-30 USD. lagi-lagi saya beli yang used online, lha kalo enggak, satu buku harganya $27.50 satunya lagi $45 jee...
saya dapet di amazon.com yang pertama $21.00 [sudah termasuk ongkos kirim] dan yang satunya $32.00 [lupa tepatnya! tapi sekitar tiga puluhan lah...]
adakah yang bersedia membantu dana pembelian buku-buku ini [dan juga nanti 2 session lagi]? he..he..
ini professor hitam tinggi besar yang kaya dengan pengalaman lapangan. nampak dari cara dia berkomunikasi: langsung meminta pada implementasi dan lebih menaruh perhatian pada 'how to' serta 'apa yang kamu maksud dengan...'

tapi, justru di situlah masalahnya [buat saya! he..he..] karena metoda pengelolaan kelas ini mengandalkan kita sudah membaca buku-buku yang dimintanya.
dan ada 2 buku wajib yang harus dibeli. satu berjudul "Building Communities from the Inside Out", sedangkan satunya lagi berjudul "Training for Transformation: A Handbook for Community Workers"
buku terakhir ini langsung diminta beli 3 jilid.
halah..!

wuadhuh...
sebenernya, di session pertama kemaren saya juga 'disiksa' perasaan oleh karena juga harus beli beberapa buku seharga di atas 20-30 USD. lagi-lagi saya beli yang used online, lha kalo enggak, satu buku harganya $27.50 satunya lagi $45 jee...
saya dapet di amazon.com yang pertama $21.00 [sudah termasuk ongkos kirim] dan yang satunya $32.00 [lupa tepatnya! tapi sekitar tiga puluhan lah...]
adakah yang bersedia membantu dana pembelian buku-buku ini [dan juga nanti 2 session lagi]? he..he..
Subscribe to:
Posts (Atom)