21 May 2007

tony brown



















luncheon siang ini menampilkan seorang penyanyi baritone: anthony brown.
saya sudah melihat penampilannya hari minggu lalu di gereja. seorang penyanyi afro-amerika yang dalam membawakan lagu-lagunya selalu dengan semangat. semangat orang tertindas, sebagaimana semangat asli lagu-lagu yang dibawakannya.

ini bukan pertunjukan pavarotti, memang, tapi begitulah... lagu-lagu tadi dibawakan seolah dibawakan oleh seorang pavarotti.
seperti dulu para budak memainkan alat-alat musik tuannya secara fals sehingga justru melahirkan nada-nada blues. nada-nada yang kalau ditulis pake not balok harus diimbuhi tanda moll sampai 4 atau 5, tidak sekadar nada yang turun dan naik setengahnya.

tony brown membawakan dengan suara dibikin-bikin seserius suara pavarotti. digetar-getarkan seperti orang melayu menyanyikan lagu-lagu paduan suara gereja. dari perspektif itu suara tony jelek. tidak hanya itu: nista! karena tidak berhasil memenuhi standard suara yang sebagus pavarotti atau kiri te kanawa yang "suaranya seolah tanpa serat" itu.

tapi, sekali lagi, ini bukan pertunjukan sejenis pavarotti. ini pertunjukan dengan obyek yang berbeda: bukan pertunjukan tentang keindahan suara yang memenuhi pakem suara klasik barat. ini pertunjukan mengenai bagaimana seni [suara] ambil bagian dalam proses rekonsiliasi.

lagu-lagu yang dibawakan tony adalah lagu-lagu yang pada jamannya dulu telah membangun semangat, memulihkan harga diri, membangun perasaan senasib, menebarkan harapan, mengungkapkan keyakinan akan pemeliharaan tuhan...
lagu-lagu ini telah menjadi sarana bagi kepentingan kemanusiaan. fungsional dalam membangun kembali jaringan sosial yang rusak atau kendor. jadi, ini bukan pertunjukan seni demi seni itu sendiri.

seni telah diperalat? dalam arti tertentu ya, tapi dalam arti lain seni ini dikembalikan pada habitatnya mula-mula: komunitas. seni suara mula-mula tidak ada demi seni suara, tapi demi komunikasi antar anggota komunitas. untuk menyampaikan hal-hal subtil yang tidak bisa disampaikan dengan sarana komunikasi langsung.

tidak heran, bila pada kebaktian hari minggu kemaren, ada warga jemaat yang setelah mendengar suara tony brown langsung spontan menyeru: halleluya! amen!
aku setuju.
saat itu memang harus dinyatakan dua kata itu: halleluya dan amin.

[tapi aku tidak melakukannya. aku cuma mengusap air mata di balik kacamataku. ini kali pertama aku menangis di gereja di usa]

1 comment:

NitZ said...

Pak, nulis blog e yg lucu2 donk, jangan serius2 gt. kalo serius gini kan bingung mo kasi comment apa. hehehe...... pie lah, je??